Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menghadiahkan vonis sembilan tahun penjara buat pensiunan PT Nindya Karya, Heru Sulaksono. Bekas Kepala PT Nindya Karya Cabang Sumatera Utara dan Aceh itu terbukti merugikan negara lebih dari Rp 313 miliar dalam proyek pembangunan Dermaga Sabang pada Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas Sabang pada 2004 sampai 2011, dan memperkaya diri sendiri serta melakukan pencucian uang.
"Mengadili, menjatuhkan putusan oleh karenanya kepada terdakwa Heru Sulaksono dengan pidana penjara selama sembilan tahun. Dikurangkan dari masa tahanan seluruhnya," kata Hakim Ketua Casmaya, saat membacakan amar putusan Heru, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (22/12).
Di samping hukuman badan, hakim juga menjatuhkan pidana denda kepada Heru sebesar Rp 500 juta. Bila tidak dibayar, maka dia mesti mengganti dengan kurungan selama empat bulan.
Hakim Ketua Casmaya juga menjatuhkan pidana tambahan kepada Heru. Yakni membayar pengganti kerugian negara sebesar lebih dari Rp 12,625 miliar dari Rp 23 miliar dikurangkan dari harta benda yang sudah disita negara. Menurut Hakim Anggota Ugo, nilai uang pengganti menyusut karena duit itu tidak sepenuhnya dinikmati Heru.
Meski begitu, jika uang pengganti tidak dibayar paling lama satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda Heru akan disita dan dilelang buat menutupi uang pengganti. Bila harta benda disita dan dilelang nilainya tetap tidak mencukupi pembayaran uang pengganti, Heru harus menjalani pidana penjara selama tiga tahun.
Pertimbangan memberatkan Heru adalah tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Sementara keadaan meringankannya antara lain bersikap sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum, dan masih memiliki tanggungan keluarga.
{content-split}
Hakim Anggota Saiful Arif menyatakan, Heru terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) 2006-2010 Teuku Syaiful Achmad selaku Kuasa Pengguna Anggaran, dan Ramadhani Ismy selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, dalam kegiatan proyek dermaga Sabang. Mereka disebut telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing dipandang sebagai kejahatan berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan secara melawan hukum. Heru melaksanakan pekerjaan pembangunan Dermaga Sabang pada Pelabuhan dan Perdagangan Bebas Sabang secara melawan hukum.
Pihak lain terbukti terlibat dalam kasus ini adalah pimpinan proyek sekaligus karyawan PT Nindya Karya cabang Sumut dan Aceh, Sabir Said, Direktur PT Tuah Sejati M. Taufik Reza, Kepala BPKS sekaligus kuasa pengguna anggaran pada 2004 Zubir Sahim, penanggung jawab Kepala BPKS dan kuasa pengguna anggaran Februari-Juli 2010 Nasruddin Daud, Kepala BPKS dan KPA 2011 Ruslan Abdul Gani, tenaga lepas BPKS Ananta Sofwan, dan pimpinan proyek 2004 Zulkarnaen Nyak Abbas. Sementara pihak swasta dianggap turut terlibat adalah Direktur PT Budi Perkasa Alam (BPA) 2007-2008 Zaldy Noor, Komisaris Utama PT BPA 2007-2011 Pratomo Santosanengtyas, Direktur PT Swarna Baja Pacific (SBP) 2007-2010 Pandu Lokiswara Salam, dan Direktur CV SAA Inti Karya Teknik dan Komisaris Utama PT Budi Perkasa Alam Askaris Chioe.
Menurut Hakim Anggota Anwar, proyek ini bermula pada 2004. Saat itu Heru mendapat informasi akan ada pembangunan Dermaga Bongkar Sabang, di Teluk Sabang, Desa Pasiran, Sabang, Banda Aceh. Tetapi, karena saat itu Aceh merupakan daerah konflik, maka mereka menggandeng kontraktor lokal bernama PT Tuah Sejati, juga pernah berkongsi dalam proyek lain. Mereka kemudian membentuk ikatan kerjasama operasi Nindya Sejati Joint Operation.
"Namun penyusunan Harga Perkiraan Sendiri yang tidak dilakukan PPK dan sudah dinaikkan (mark-up) adalah bertentangan dengan prinsip efisien dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah," ujar Hakim Saiful Arif.
Meski begitu, proses pelelangan dilakukan menyimpang karena Kepala BPKS pada 2004, Zubir Sahim, meminta Zulkarnain selaku pimpro merekayasa proses tender. Mereka juga menunjuk langsung Nindya Sejati JO sebagai pemenang lelang dan pelaksana proyek. Kemudian, pada 26 Oktober 2004, Heru menerima uang muka 20 persen dari nilai kontrak, yakni Rp 1,22 miliar. Tetapi anehnya, sampai masa kontrak selesai, Nindya Sejati JO sama sekali tidak melakukan pembangunan fisik. Pembangunan dimulai bertahap pada 2006 sampai 2011 setelah dilakukan peninjauan kembali proyek itu pada 2005.
Proses pengerjaan pun banyak mengalami penyimpangan. Antara lain menaikkan harga bahan baku dan jasa, konsultasi pembuatan Detailing Engineering Design, spesifikasi konstruksi dan barang tidak sesuai kontrak, sampai mengoper pekerjaan utama kepada pihak lain.
Heru terbukti memperkaya diri secara melawan hukum sebesar Rp 34 miliar lebih. Sementara Syaiful menerima Rp 7,4 miliar, Rp 3,2 miliar masuk ke kantong Ismy, Sabir menerima Rp 12,7 miliar, dan Bayu Ardhianto menerima Rp 4,3 miliar.
{content-split}
Sementara itu, pihak lain turut kecipratan duit korupsi adalah Saiful Ma'ali (Rp 1,2 miliar), Taufik Reza (Rp 1,3 miliar), Zainuddin Hamid (Rp 7,5 miliar), Ruslan (Rp 100 juta), Zulkarnaen (Rp 100 juta), dan Ananta (Rp 977 juta).
Kemudian, korporasi disebut menerima duit korupsi adalah PT Nindya Karya (Rp 44,6 miliar), PT Tuah Sejati (PT 49,9 miliar), PT BPA (Rp 14,3 miliar), dan PT SBP (Rp 1,7 miliar). Sedangkan pihak-pihak lain turut kecipratan duit korupsi mencapai Rp 129,5 miliar.
Dalam kasus korupsi, Heru terbukti melanggar dakwaan primer. Yakni Pasal 2 ayat 1 juncto pasal 18 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Sementara dakwaan kedua, Heru terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang. Dia terbukti sengaja menyamarkan, menyembunyikan, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, mengtransfer, mengubah bentuk, dan menyumbangkan sejumlah duit diduga hasil korupsi proyek pembangunan Dermaga Sabang pada Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas Sabang pada 2004 sampai 2011 dan proyek lainnya.
Hakim Anggota Ugo menyatakan, Heru menerima pemasukan lebih dari Rp 20 miliar dari hasil korupsi proyek Dermaga Sabang dan proyek-proyek lainnya dikerjakan Nindya Karya. Antara lain proyek Pembangunan BP2IP Aceh, Pembangunan PKS PTPN III Medan, Pembangunan Rumah Sakit Umum Pendidikan Universitas Brawijaya (RSPUB) Malang, Pembangunan Jalan dan Areal Parkir Bandara Kuala Namu, Medan. Uang itu lantas ditempatkan di lima rekening pribadi Heru. Yakni di rekening Bank Mandiri Cabang Medan nomor rekening 1050002264905, rekening Bank Mandiri nomor rekening 0700005472712 dan 0700006035054, serta rekening Bank BCA bernomor 1640525505. Duit juga ditransfer kepada lima orang, yakni Anik Martinah, Edy Susilo, Marzuki Bintang, Sri Haryanto, Firmansyah, Moch Subagjo, Kiming Marsono.
Heru juga membayarkan beberapa Polis Asuransi Prudential Life Assurance dan AXA Mandiri atas namanya, Rina Puspita H. (istri terdakwa), dan atas nama Neshya Ruriana Putri serta Hendar Nugrahadi Priambodo (anak terdakwa).
Dengan duit haram itu, Heru juga membayar iuran kegiatan golf di Bandung dan utang, membuat kartu kredit serta anggota Golf Bogor Raya, merenovasi rumah dan membeli perabotan, serta membeli perhiasan. Antara lain cincin berlian, giwang emas, dan gelang berlian.
Dia juga memakai fulus rasuah buat membeli beberapa kendaraan. Yaitu Honda City warna hitam bernomor polisi B 1006 AI, Honda Civic 2008 warna abu-abu metallik bernomor polisi N 333 SA, dan Honda CR-V 2008 warna abu-abu metallik nomor polisi B 1615 HE.
Heru juga membeli tunai sebuah sedan Volks Wagen (VW) Golf 1.4 TSI perak dari ruang pamer PT Wangsa Indra Permana di Wisma Indomobil seharga Rp 346 pada 10 September 2011. Tetapi mobil itu diatasnamakan adik Heru, Endah Nurcahya.
Heru juga menghamburkan duit korupsi buat membeli sedan Volks Wagen (VW) Beetle 1.2 transmisi otomatis putih 2012 bernomor polisi B 1117 RH. Kendaraan itu dibeli di ruang pamer Auto One di Kelapa Gading seharga Rp 607,5 juta pada 19 September 2012. Surat-surat mobil itu ternyata atasnama Direktur PT Jaka Geni, Didik Priyanto.
Heru juga kepincut membeli sebuah Toyota Harrier 2.4L A/T 2011 di ruang pamer VIP Motor seharga Rp 700 juta dengan duit haram. Mobil itu dibeli pada 30 Januari 2012 secara tunai, tapi surat-suratnya atas nama Komisaris PT Mandala Mitra Jaya, Sakti Arjunawan. Dia merupakan pemasok Katodik di Proyek Dermaga Sabang.
Tak hanya dihamburkan buat membeli kendaraan, perhiasan, dan asuransi, Heru juga membeli dua properti dari duit korupsi. Yakni membeli satu unit Apartemen Salemba seharga Rp 425 juta dari Djoko Prabowo. Selanjutnya, surat kepemilikan apartemen itu diatasnamakan Hendar (anak kandung Heru). Heru lantas membeli sebuah rumah di Jalan Wirayuda II Blok C.14, Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur Rp 2.3 miliar pada Januari 2012.
Heru juga menyembunyikan harta hasil korupsi dalam valuta asing. Antara lain SGD 737,606, USD 323,187. Dia juga menyimpan duit rasuah di rumahnya secara tunai dalam mata uang asing dan Rupiah. Yakni SGD 339,710, E (Euro) 4,000, USD 113,390, Rp113.6 juta, SGD 1,077 juta, dan USD 436,577
Dalam tindak pencucian uang, Heru terbukti melanggar dua dakwaan. Yakni Pasal 3 ayat (1) huruf b, c, d Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana, dan Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Awal Desember lalu, jaksa penuntut umum pada KPK menunutut Heru dengan pidana penjara selama sepuluh tahun dan denda Rp 600 juta. Apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan kurungan selama enam bulan.
Heru dituntut membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 23,127 miliar dikurangi nilai harta benda yang telah disita dan dirampas untuk negara. Jika uang pengganti tidak dibayar paling lama satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda Heru akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti.
Kemudian, jika harta benda yang disita dan dilelang tersebut tidak mencukupi pembayaran uang pengganti, Heru diwajibkan menjalani pidana penjara selama lima tahun.
Selepas mendengarkan putusan, Heru menyatakan pikir-pikir. "Kami pikir-pikir dulu," kata Heru. Sementara itu, jaksa penuntut umum pada KPK, Riyono, juga menyatakan hal sama. "Kami pikir-pikir," ujar Riyono.